Mengarusutamakan Konsep PRBBK dalam program Divisi Disaster Management YPI



Sebuah Catatan Perjalanan (Bagian 3 - Habis)


Catatan ini adalah tulisan terakhir dalam rangkaian catatan perjalanan saya sebagai tanggungjawab personal kepada organisasi untuk melaporkan hasil dari diutusnya kami menghadiri Konferensi Nasional PRBBK di Yogya awal bulan Desember lalu.


Diawali oleh tulisan pertama yang menceritakan mengenai proses yang mengawali untuk dapat memenuhi undangan serta harapan-harapan yang ingin dicapai dalam keikutsertaan Palawa Indonesia dalam konferensi tersebut. Kemudian pada tulisan kedua yang menceritakan suasana konferensi dan juga suasana personal selama mengikuti konferensi nasional PRBBK ke-7, namun yang pertama kalinya dihadiri oleh perwakilan dari Palawa Indonesia, serta bagaimana harapan-harapan yang ditargetkan diawal dapat terpenuhi sejalan berlangsungnya kegiatan sampai dengan akhir.


Selanjutnya tulisan terakhir ini sebagai refleksi dari apa yang didapat selama mengikuti kegiatan tersebut dan sedikit sumbang saran bagi alternatif pengembangan program di Divisi Disaster Management Yayasan Palawa Indonesia.


Seperti diketahui, selama ini kiprah Divisi Disaster Management di Yayasan Palawa Indonesia dalam konteks PRB atau pengurangan resiko bencana lebih banyak berfokus pada saat kejadian bencana melalui kegiatan tanggap darurat. Walaupun divisi ini bisa dibilang masih dalam fase mencari bentuk, beberapa aktivitas emergency response atau tanggap darurat bencana telah berhasil dilaksanakan. Tentunya hal tersebut terkait dengan situasi kejadian bencana yang dapat direspon organisasi berdasarkan kemampuan sumber daya yang ada, melalui kegiatan tanggap darurat bencana.


Dalam beberapa tahun terakhir, tercatat ada beberapa aktivitas tanggap darurat bencana Yayasan Palawa Indonesia seperti aksi tanggap bencana melalui distribusi logistik bantuan kemanusiaan pada kejadian bencana gempa di Pangalengan 2008, pengiriman logistik bantuan kemanusiaan yang saat itu sudah disertai sedikit assesment awal pada kejadian gempa di Padang 2009, kemudian memfasilitasi program ‘Qurban for Merapi’ pada kejadian erupsi Gn. Merapi di Yogya 2010 dan lain sebagainya. Adapun beberapa kejadian seperti bencana tsunami di Mentawai, banjir bandang Wasior di Papua, meletusnya Gn. Sinabung dan beberapa kejadian bencana lainnya, semata karena keterbatasan sumberdaya tidak direspon secara khusus oleh organisasi namun lebih pada respon secara personal.


Perhatian atas kejadian bencana sejatinya telah lama muncul bahkan jauh sebelum organisasi Palawa Indonesia berdiri. Palawa Unpad sebagai embrio dari Yayasan Palawa Indonesia, sudah sering melakukan berbagai misi terkait penanggulangan bencana. Namun layaknya organisasi kepecintaalaman di tingkat universitas, keterlibatan Palawa Unpad lebih kepada aspek volunterism atau sebagai relawan bencana yang seringkali terlibat sebagai tim evakuasi bencana yang dengan pengalaman & ketrampilan alam bebasnya bertugas mencari, menyelamatkan, mengevakuasi & melakukan pertolongan darurat para korban bencana. Beberapa personal yang ikut aktif di Yayasan pun bahkan secara personal, memiliki pengalaman yang cukup intens dalam beraktivitas di berbagai daerah kejadian bencana.


Sebenarnya dengan adanya wadah Yayasan Palawa Indonesia, beberapa penggiat bahkan mengimpikan sebuah pelembagaan program tanggap bencana dimana salah satu implementasinya adalah dengan membentuk Unit Reaksi Cepat Yayasan Palawa Indonesia, lengkap dengan sarana & prasarana yang menjadi kebutuhan standar sebuah tim tanggap bencana. Dimana nantinya tim ini akan siap dikirimkan kemana saja dan kapan saja setiap kali ada kejadian bencana di Indonesia. Ide ini didasari oleh pengalaman para penggiat sendiri yang mana pada saat tanggap darurat bencana seringkali terdapat berbagai permasalahan antara lain karena dalam waktu yang sangat singkat, kebutuhan yang mendesak, tergantung pada sumber daya lain dan berbagai kesulitan koordinasi yang disebabkan karena banyaknya institusi yang terlibat dalam penanganan darurat bencana, kompetisi dalam pengerahan sumberdaya dan lain sebagainya sehingga apabila memiliki tim reaksi cepat dengan sarana & prasarana yang memadai akan memperlancar penyelenggaraan penanganan darurat bencana secara mandiri (lih. Mas Oktavian, Proposal Pembentukan URC YPI, 2010).


Usulan ini sudah dibahas dalam rapat kerja yayasan yang lalu dan bahkan acuan & sistem kerja sudah jelas tergambar pada tupoksi & protap yg diusulkan. Inventarisasi dan survey pemenuhan peralatan dan personil yang dibutuhkan pun sudah sempat berjalan. Namun demikian, mengingat sumberdaya yang dibutuhkan tidak sedikit untuk mewujudkan ide ini dan sadar atas keterbatasan waktu dan dana yang tersedia, maka program tersebut akhirnya tidak sampai tuntas terlaksana.


Belajar dari keikutsertaan kami di Konferensi Nasional Pengelolaan Bencana yang lalu, ternyata sebenarnya banyak ragam alternatif program PRB dari contoh praktek-praktek terbaik pengelolaan bencana yang berhasil dilaksanakan walaupun dengan segala keterbatasan sumber daya yang ada. Bahwa ternyata dengan mengarustamakan konsep Pengelolaan Bencana Berbasis Komunitas kendala-kendala klasik program seperti diatas seharusnya bisa teratasi dengan sendirinya. Tinggal bagaimana divisi disaster management YPI mampu merubah paradigmanya dari keinginan membuat program tanggap darurat yang lebih bersifat formal-teknis tersebut diatas menjadi program berbasis pendampingan masyarakat yang lebih informal-sosial kultural.

Bila kembali kepada pengalaman keterlibatan YPI dalam pengelolaan bencana pada setiap kejadian bencana selama ini. Permasalahan di lapangan yang sering dihadapi menegaskan bahwa sudah saatnya ada pergeseran dalam merancang suatu program pengelolaan bencana. Dimana tidak lagi melihat bencana secara parsial dan responsif, baru akan bereaksi ketika terjadi kejadian bencana namun sudah harus melihat secara holistik dan integratif. Paradigma pengelolaan bencananya harus sudah melibatkan komunitas rawan dan terdampak bencana semenjak dari awal. Masyarakat tidak hanya menjadi pelaku pasif yang menunggu inisiatif aktif pelaku luar, penggiat pengelolaan bencana, baik dari pihak pemerintah, LSM dan organisasi swasta lainnya namun secara aktif melembagakan Pengurangan Resiko Bencana dengan sebisa mungkin memanfaatkan sumber daya lokal yang dimilikinya.


Secara praktis, langkah awal yang bisa dilakukan adalah, melakukan pendataan dan pemetaan daerah rawan bencana untuk kawasan Jawa Barat dan Banten. Data ini sepertinya bisa didapat secara sekunder dari pemerintah provinsi Jawa Barat dan Banten, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) dari Badan Geologi, Badan Pengelolaan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat & Banten serta instansi-instansi terkait lainnya.


Setelah data didapatkan maka selanjutnya dianalisa untuk kemudian ditentukan daerah mana yang akan dilakukan assessment awal. Daerah yang akan menjadi lokasi assessment ditentukan melalui penyeleksian berdasarkan kriteria tertentu, misalnya pertimbangan tingkat ancaman, kerentanan masyarakat serta aksesibilitas relatif organisasi untuk masuk dalam masyarakat tersebut.


Tahap berikut adalah dilakukannya survey assessment awal, melalui metoda memasyarakatdalam beberapa hari, dimana tujuan dari aktivitas ini adalah mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat tersebut berikut kapasitas dan ketahanannya dalam konteks PRB. Dari informasi ini, akan ditemukan dua alternatif: apakah PRB telah melembaga dalam masyarakat tersebut sehingga tujuan lanjutan YPI kemudian adalah membangun jaringan komunikasi bencana sebagai referensi manakala ada kejadian bencana di kemudian hari; atau apabila ternyata diketemukan bahwa justru komunitas tersebut sedemikan rentan maka tujuan lanjutan YPI adalah menyiapkan program dalam rangka meningkatan ketahanan komunitas tersebut terhadap resiko bencana.


Demikian sedikit sumbang pendapat kami, yang pada dasarnya juga merupakan rangkuman dari pengalaman, pembelajaran dan diskusi dengan saudaraku sekalian selama ini. Semoga tulisan ini dapat memancing kritik dan saran lebih lanjut demi pengembangan program divisi disaster management supaya menjadi lebih baik lagi.


Menemukenali Konsep Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas di Yogya

Sebuah Catatan Perjalanan (Bagian 2)

Sebagaimana disinggung dalam tulisan terdahulu, pada awal bulan Desember lalu, Palawa Indonesia mengirimkan saya dan Erwin untuk menghadiri Konferensi Nasional PRBBK di Yogya. Adapun tujuan kehadiran Palawa Indonesia dalam konferensi tersebut, tentunya tidak semata untuk memenuhi undangan namun terlebih karena ada peluang pembelajaran yang luar biasa dalam kegiatan ini, adanya kesempatan mengetahui praktek2 terbaik implementasi konsep pengelolaan bencana dari para pelaku/praktisi di seluruh Indonesia selain itu juga membuka jaringan baru bagi Yayasan Palawa Indonesia kepada masyarakat pengelolaan bencana di Indonesia.


Walaupun kami yang dikirim ini memiliki pengetahuan dan pengalaman yang masih terbatas dalam hal pengelolaan kebencanaan. Bahkan latar belakang kami berdua pun sejatinya tidak kental sebagai aktivis kegiatan LSM yg biasanya merupakan garda terdepan aktivitas sosial kemasyarakatan. Saya sendiri nyaris 10 tahun lamanya berkecimpung di industri keuangan & perbankan, sementara Erwin juga sudah sekian tahun di industri agribisnis. Sehingga membayangkan akan bertemu dengan para pelaku/praktisi aktivitas pengelolaan bencana dari seluruh Indonesia cukup membuat adrenalin kami berdesir bak perasaan kala memasuki medan petualangan baru. Namun yang jelas, perhatian kami terhadap isu2 kebencanaan sudah muncul semenjak mulai berkiprah di Yayasan Palawa Indonesia dua tahun terakhir ini. Dimana salah satu sudut/pilar dalam segitiga maut Palawa Indonesia adalah perhatian kepada Disaster Management disamping pilar Community Development dan Adventure Center. Mengenai kiprah dalam hal tersebut, kami pun hanya ‘beruntung’ sempat beberapa kali terlibat langsung dalam peristiwa tanggap bencana, baik turun langsung untuk distribusi bantuan maupun merancang program kepedulian untuk masyarakat terkena bencana pada momen tertentu.


Singkat cerita, setelah acara pembukaan di hari pertama, kami sudah mendapatkan peluang pembelajaran langsung bersama komunitas penyintas erupsi merapi. Sehubungan pada konferensi kali ini, panitia memilih konsep ‘memasyarakat’ sebagai salah satu metoda dalam konferensi. Dimana peserta tinggal di keluarga anggota komunitas agar dalam waktu bersama tersebut dapat berguna untuk belajar ‘memasyarakat’ sekaligus belajar ‘bersama memasyarakat’. Istilah dan konsep ‘imersi’ dan ‘eksposur’ pun menjadi singgah dan akrab di telinga awam kami. Begitupun dengan berbagai macam istilah, konsep dan akronim2 kontekstual lainnya yang tentu pada awalnya terasa asing.


Walaupun waktu yang kami habiskan di komunitas tersebut amat sangat singkat. Namun pembelajaran yang didapat dari aktivitas tersebut tidak kalah dengan apa yang kami dapatkan dalam paparan-paparan dalam diskusi pleno maupun dalam diskusi kelompok. Bahkan bagi saya pribadi, informasi dan pengamatan yang didapatkan di masyarakat tersebut, justru menjadi kekuatan tersendiri dalam membangun pemahaman akan konsep PRBBK itu sendiri dan menjadi amunisi dalam dialog dengan sejawat dalam diskusi-diskusi. Tidak heran bahwa ternyata pendekatan memasyarakat ini terbukti cukup efektif dan telah menjadi aspek penting kegiatan penguatan masyarakat dalam banyak pendampingan di berbagai macam daerah.


Hari kedua, dimulai dengan rangkaian presentasi tiga makalah utama di pleno 1 yang membahas kebijakan, pendekatan dan upaya rehab-rekon berbasis komunitas yang dibawakan oleh para birokrat, deputi badan dan kepala dinas PU Propinsi. Kemudian dilanjutkan dengan rangkaian presentasi tiga makalah utama lainnya di pleno 2 yang membahas kebijakan membangun kembali dengan baik, rekonstruksi akses & kontrol lahan serta peran OMS dalam pemulihan pasca bencana. Satu catatan menarik saya dari rangkaian presentasi tersebut adalah bahwa ternyata tujuan yang harus dicapai dalam proses pemulihan pasca bencana adalah bukan sekedar mengembalikan kondisi masyarakat penyintas sebisa mungkin ke keadaan semula tapi justru menciptakan kondisi yang jauh lebih baik bagi mereka. Suatu pernyataan yang tadinya sempat tidak saya pahami ketika dikemukakan Sultan Yogya dalam sambutan pembukaannya, bahkan harus sampai 3 x lebih baik tegasnya. Dalam pemikiran saya, bilamana mungkin memperbaiki kondisi sampai berkali lipat, kembali ke keadaan semula saja akan sulit. Namun ternyata paradigmanya harus dirubah bahwa justru adanya bencana adalah suatu peluang dimana dimungkinkan tercipta perbaikan-perbaikan dalam segala aspek kehidupan masyarakat, yang tadinya tidak mungkin, karena bencana justru menjadi mungkin.


Setelah rapat pleno, kegiatan hari kedua dilanjutkan dengan aktivitas eksposur ke masyarakat dan dilanjutkan dengan diskusi awal dengan kelompok eksposur tersebut. Karena antusiasme saya melibatkan diri dalam diskusi dan mungkin dengan sudut pendekatan yang ‘berbeda’ dengan kolega yang lain dalam kelompok diskusi tersebut maka saya didaulat menjadi ketua kelompok pembahasan hasil eksposur.


Hari ketiga, diskusi mulai mengerucut kepada bagian-bagian yang fokus pada pembahasan topik tertentu dalam berbagai kegiatan pengelolaan bencana. Sehingga dibagi dalam kelompok-kelompok diskusi. Kelompok pertama membahas mengenai pemulihan bencana dalam perspektif anak dan perempuan termasuk mengenai intervensi psikososial dasar dan lain sebagainya. Kemudian kelompok kedua banyak membahas aspek teknis dalam metoda pemulihan bencana, dari mulai pemetaan potensi bencana, pendampingan sosial pada pelaksanaan pemulihan dan bagaimana membangun logistik bencana. Diskusi kelompok kedua diikuti oleh saudara Erwin, sementara saya terlibat dalam diskusi kelompok ketiga yang lebih banyak membahas aspek kebijakan dan implementasi PRB (pengurangan resiko bencana) dari sisi pemerintah daerah maupun pusat, termasuk ketersediaan anggaran dan pemanfaatannya. Bagi saya, duduk dan terlibat dalam diskusi kelompok tiga semakin membuka mata dengan kondisi pengelolaan bencana di Indonesia. Studi kasus bencana di Padang mengenai isu PRB ini yang disampaikan oleh pemakalah, kemudian dibandingkan dengan referensi pengalaman pribadi ketika terlibat dalam aktivitas tanggap bencana, kurang lebihnya memberi pembelajaran bagaimana peta permasalahan penanganan bencana di Indonesia.


Setelah diskusi kelompok fokus, kegiatan dilanjutkan dengan diskusi lanjutan kelompok eksposur. Hasil diskusi ini, nantinya harus dipresentasikan malam itu juga didepan seluruh peserta. Maka sebagai kordinator pun tugas saya juga merangkap menjadi sebagai presenter. Syukurlah, dinamika diskusi menghasilkan hasil presentasi yang bisa dibilang agak unik & berbeda dibanding hasil diskusi kelompok lainnya. Bahkan yang sangat membanggakan, presentasi kelompok kami terbilang sangat menusuk dan cukup kontruktif, tidak sekedar memaparkan temuan tapi juga berusaha memetakan situasi yang terjadi, walaupun tentunya dengan waktu dan sumberdaya yang sangat terbatas, namun temuan2 dan rekomendasi dalam kelompok kami memberikan kerangka yang dapat digali & dikembangkan lagi dalam rangka implementasi PRBBK pasca bencana.


Dimunculkannya isu kritis akan kearifan lokal yang bersumber pada budaya masyarakat setempat berbenturan dengan upaya implementasi bersifat teknikal dari pelaku pengelola bencana, baik pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat, kemudian dikotomi PRBBK dalam konteks internal dan ekternal tersebut dalam aspek terpenting yaitu pelibatan masyarakat penyintas itu sendiri dalam mengatasi permasalahan pasca bencana dan kemudian peran vital akses serta aset masyarakat dalam pemulihan bencana yang kadang alpa dipahami secara cepat oleh pengambil kebijakan, padahal pemahaman akan hal tersebut juga dapat menyelamatkan lebih banyak nyawa dan setidaknya membantu mempercepat pemulihan.


Ternyata bahwa kondisi kami yang datang ke konferensi dengan tidak membawa bekal pengetahuan teori, konsep dan metoda formal juga kurang didukung pengalaman khusus dalam PRBBK, sepertinya membuat kami sedikit lebih dapat menemukenali, memotret dan memunculkan PRBBK versi komunitas itu sendiri serta menemukan program apa yang berhasil dan apa yang kurang berhasil serta mengapa. Hal tersebut mengingatkan saya dengan akar studi antropologis yang induktif dan grounded yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak pada suatu, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori dan konsep formal.


Pada hari keempat, yang merupakan diskusi untuk pembahasan tindaklanjut sebelum acara penutupan. Situasi personal kami yang tadinya datang ke konferensi sebagai awam dalam hal pengelolaan bencana berubah menjadi lebih percaya diri. Respon dan penerimaan rekan sesama peserta lainnya pun menjadi sangat positif, baik dari kalangan pemerintahan maupun sesama organisasi/lembaga swadaya masyarakat sehingga secara tidak langsung memenuhi salah satu tujuan keikutsertaan kami yakni untuk meluaskan jaringan bagi organisasi. Bahkan sampai saat2 terakhir menjelang kembali, Palawa Bandung adalah pihak yang paling dicari2 panitia. Ternyata hasil diskusi kelompok kami belum disetorkan, padahal sangat dinanti untuk menjadi bahan rekomendasi akhir hasil konferensi. Semoga sumbangsih pemikiran dan pendapat kami yang tidak seberapa itu dapat bermanfaat.

Amin.

Menuju Konferensi Nasional Penanggulangan Bencana di Yogya

Sebuah Catatan Perjalanan (Bagian 1)

Ditengah hingar bingar ekspedisi prestisius Palawa mengeksplorasi gua sungai terbesar dunia di negara Laos dan belum lekang dalam ingatan beberapa minggu sebelumnya Palawa melakukan pendakian puncak gunung es di negara Nepal. Maka perjalanan dua orang dari Palawa Indonesia, saya dan saudara Erwin , ke negara Yogya alias Ngajogjakarto Hadiningrat utk menghadiri Konferensi Nasional Pengelolaan Bencana di lereng gunung Merapi jauh dari kesan heroisme sebagaimana dua kegiatan lainnya tersebut. Selain karena lokasinya masih di dalam negeri juga mungkin karena tidak melibatkan aspek adventure di dalamnya. Kalo monarki Yogya, yg beberapa waktu lalu sempat heboh, jadi melepaskan diri dari NKRI, mungkin perjalanan kami akan sedikit lain kesannya. Walaupun begitu, masih syukurlah sampai saat ini Yogya masih jadi bagian dari Indonesia, sehingga paspor tidak perlu kami siapkan sebagaimana beberapa saudara muda kami yang bahkan perjuangan heroiknya sudah harus dimulai dengan berjibaku menghadapi birokrasi pemerintah dalam waktu yang sangat sempit untuk mengurus KTP di kampungnya dulu sebelum dapat paspor sebagai syarat ikut ekspedisi ke luar negeri.


Sebenarnya upaya menghadiri Konferensi Nasional ini nyaris tidak terlaksana, selain memang undangan yang relatif terlambat kami terima. Juga pengambilan keputusan untuk menghadiri kegiatan dari luar, yang biasanya selalu diawali dengan ritual ‘ngopi doeloe’alias bincang2 berdiskusi sambil ngopi di Bandung batal terlaksana atau tertunda terus. Utamanya karena domisili saya yang jauh dari episentrum kegiatan Palawa di Bandung, juga ditambah kesibukan Bar, Ketua Yayasan Palawa Indonesia sebagai penanggungjawab Ekspedisi mempersiapkan perjalanan ke Laos sudah menjelang detik2 ‘D-Day’keberangkatan. Namun demikian, dengan komunikasi jarak jauh memanfaatkan email, media sosial dan telepon akhirnya diambil keputusan bahwa Yayasan Palawa Indonesia harus dan wajib malah menghadiri undangan ini.


Pertimbangan utamanya adalah karena ada peluang pembelajaran yang luar biasa dalam kegiatan ini mengenai konsep & metodologi dalam Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) atau Community Based Disaster Risk Management (CBDRM), berikut peluang mengetahui praktek2 terbaik implementasi konsep tersebut dari para pelaku/praktisi pengelolaan bencana di seluruh Indonesia serta terbukanya jaringan baru bagi Yayasan Palawa Indonesia kepada masyarakat pengelolaan bencana di Indonesia. Pertimbangan lainnya adalah pengurus menyadari bahwa divisi disaster management masih lebih berkutat kepada aspek Tanggap Bencana sebagaimana pengalaman di lapangan selama ini. Padahal apabila Yayasan Palawa Indonesia ingin berkiprah di tingkatan lebih tinggi atau the next level sebagaimana slogan yg sering didengung2kan, maka mempunyai perangkat pengetahuan atau know how tentang pengelolaan resiko bencana yang komprehensif, bukan hanya pada saat terjadinya bencana tapi juga Pra- Bencana & bahkanPasca-Bencana, akan lebih mengoptimalkan sumbangsih YPI dalam pengelolaan bencana yang lebih baik di Indonesia, negara yang sejatinya hidup dengan kerawanan resiko bencana tingkat tinggi.


Akhirnya bak kesebelasan MU Inggris yang punya ‘kebiasaan’ menciptakan gol di menit-menit akhir atau injury time maka begitupula YPI, baru menegaskan keikutsertaannya pas menjelang menit2 akhir kepastian partisipasi bagi undangan ditutup.

Berbeda dengan pelaksanaan KN PRBBK sebelum2nya yang biasanya bertempat di hotel, dalam KN PRBBK VII kali ini dilaksanakan di dan bersama komunitas yang sesungguhnya, para penyintas erupsi Gunung Merapi 2010. Tepatnya di Hunian Sementara (Huntara) Shelter Gondang I , Dusun Gondang Pusung (900mdpl), Desa Wukirsari, Cangkringan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Peserta dan panitia menginap di rumah-rumah penduduk dan pertemuan konferensi pun menggunakan fasilitas lokal yang tersedia. Hal ini sudah terinformasikan sebenarnya kepada kami sebelumnya dalam undangan, namun bahwa gambaran keadaan di lapangan ternyata tidak seperti yang kami bayangkan. Bahwa akses menuju lokasi pun ternyata tidak semudah yang tercantum dalam panduan yang diberikan panitia, padahal kami pikir dengan jarak yang hanya 25 kilometer dari Bandara Adisucipto tentunya tidak akan sulit bagi kami mencapainya. Apalagi mengingat masyarakat Yogya yang terkenal ramah, baik hati dan tidak sombong, maka akan mudah kami mendapatkan informasi dan petunjuk arah menuju lokasi, it’s peace a cake lah dibanding harus cari info di lao cai di Vietnam atau di thakek di Laos misalnya.


Namun demikian, begitu kami sampai di Bandara Adisucipto, ternyata umumnya yang kami temui tidak pernah tahu nama lokasi yang kami tuju, bahkan diperparah dengan orientasi kepentingan beberapa dari mereka yang ternyata menawarkan jasa pengantaran sendiri sehingga terkesan mempersulit. Begitupun ketika kami berusaha menanyakan alternatif transportasi sesuai rujukan arah dalam panduan yang diberikan panitia karena kurangnya petunjuk dan informasi bahkan didalam terminal sekalipun, maka rata-rata akan menawarkan pengantaran/charter yang ujung2nya tentu menguras biaya yang lebih banyak. Kalau sudah begini, saatnya bersosped ria, dengan berjalan agak jauh dari tempat semula untuk menemui penduduk Yogya ‘yang asli’ yang kami yakin akan dengan tulus memberikan informasi dan arah yg benar. Alhamdulillah kami diberikan informasi yang baik, dengan sedikit menyalahkan petunjuk dari panitia yang tidak up to date, sehingga setelah berganti kendaraan dari Transyogya di Condong Catur kami lanjut menggunakan bus kecil/elf menuju Cangkringan.


Walaupun sudah dalam perjalanan menuju lokasi yang kami tuju, masalah transportasi bagi kami belum benar2 selesai, karena ternyata supir bus elf itu tidak jadi mengantarkan kami ke Cangkringan sebagaimana konfirmasi awal melainkan hanya sampai Ngemplak. Mungkin mengingat sejak beberapa kilometer sebelumnya hanya kami berdua penumpang satu2nya yang tersisa, mungkin juga karena sebagaimana alasan yang dikemukakan, jam kerjanya sudah selesai dan mau langsung pulang. Walah ndalah… kok dadi ngene to mas… Yo westurunlah kami di pertigaan yang msh menyisakan sedikitnya 8-10 kilometer lagi menuju lokasi yg kami tuju.


Kembali saatnya bersosped ria… ternyata memang di titik itu tidak ada lagi sarana transportasi umum yg tersedia di sore hari, ojek yang biasanya ada cuman sampai siang hari atau pas bubaran anak sekolah, setelah itu blas bablas. Namun dari hasil sosped disarankan juga untuk mencoba menumpang truk pengangkut pasir yang biasanya mengarah ke lereng merapi yang mungkin melewati lokasi yang kami tuju. Oke, kami pikir, dan dalam waktu beberapa menit menunggu, termasuk sempat terlewati mobil dinas pejabat daerah lengkap dengan vojrider-nya, ada juga truk yg bersedia direpoti untuk mengangkut kami hingga ke Cangkringan krn kebetulan truk itu juga melewati titik itu. Lucunya sepanjang jalan, ternyata si bapak supir truk ini sepertinya ga bisa bahasa Indonesia alhasil beliau nyerocos trus ngomong jawa. Sebenarnya kami berdua sedikit mengerti bahasa Jawa namun dengan kecepatan bicara, logat dan intonasi yg unik hampir tidak ada kalimat yg kami mengerti.


Dari Cangkringan, masih tersisa kurang lebih 3-4 kilometer lagi ke dusun gondang pusung. Sebagaimana di ngemplak, sudah tidak ada lagi sarana angkutan ojek. Namun disini sudah ada terlihat papan petunjuk menuju lokasi Konferensi Nasional di Shelter Gondang 1. Sempat terbersit kalo sulit mendapatkan sarana angkutan kami akan jalan kaki saja, apalagi keliatannya truk2 disini sudah lebih sulit dihentikan. Satu2nya yang mau berhenti hanyalah mobil pick up, itupun sebenarnya tidak menuju ke arah lokasi, namun bolehlah menumpang sebentar walaupun tidak sampai 1 kilometer, paling tidak bisa memperpendek jarak menuju lokasi sehingga kalaupun terpaksa harus berjalan sudah lumayan mengurangi jatah jalan kaki.


Sampai dipersimpangan jalan, kami pun turun lagi dari pick up dan kembali bersosped, mencari cara menuju lokasi konferensi. Beruntung, ada salah satu peserta konferensi dari organisasi lokal yang kebetulan melewati kami sehingga menawarkan untuk ikut bersama menuju lokasi. Masalahnya, hanya ada satu motor yang dia bawa, sementara kami ada berdua lengkap dengan ransel dipunggung. Akhirnya saya putuskan Erwin untuk ikut saja dengannya pake motor biar saya cari alternatif transportasi lainnya. Sedikit pun tidak ada rasa menyesal melihat Erwin yang dengan sigap sudah menggunakan raincoat menaiki motor bersama si mas peserta lokal, sementara saya masih celingak-celinguk sambil berjalan mencari kendaraan apapun dari kejauhan sudut jalan. Konsekuensi bahwa bisa jadi saya harus berjalan kaki sendirian ke lokasi malah membuat saya bersemangat. Padahal sore itu cuaca sudah mulai gelap dan hujan pun sudah mulai turun rintik2 yang seolah mengkonfirmasi sms terakhir dari panitia untuk bersiap menggunakan payung atau jas hujan karena sudah turun hujan besar di lokasi. Ah tak mengapa, justru aspek dadakan & ketidak pastian seperti ini yang mewarnai dan memberi bumbu dalam setiap perjalanan, sejatinya justru keadaan seperti itu yang dicari. It won’t hurt anyway, just couple kilometer…


Saat sedang menyiapkan raincover utk menutupi ransel dan mengeluarkan jacket goretex merah andalan veteran fansipan, sekilas ada truk lewat, dengan berlari kecil saya coba menghalangi truk itu, minta ijin sang supir untuk ikut dan berhasil naik keatasnya. Syukur, truk itu juga menuju arah Gondang Pusung, tapi karena mengarah ke Sungai Gendol jadi pada akhirnya mungkin saya tetap harus berjalan kaki ke lokasi, ya tidak apa2 lah saya pikir … paling tidak sekarang sudah tidak akan terlalu jauh lagi jalannya. Benar saja, saya harus turun di simpang jalan dan harus berjalan kaki menuju lokasi. Hujan sudah turun dengan lebatnya. Karena sudah tanggung basah, saya lanjut saja ke lokasi berhujan-hujan… dinikmati saja… sambil beromantisme seolah sedang turun gunung atau sedang ngaping siswa saat diklat… no worries lah…


Sesampainya di lokasi, acara pembukaan baru saja dimulai didalam sebuah tenda besar yang bocor disana-sini. Namun demikian para pejabat nasional maupun lokal seperti Deputi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Gubernur DIY & Wakil Bupati Sleman serta beberapa kepala instansi pemerintah lokal bersama pimpinan beberapa lembaga nasional & internasional dipandu panitia tetap melangsungkan acara sesuai jadwal. Suasana kedaruratan sepertinya memang ingin ditampilkan panitia dengan menyelenggarakan konferensi di lokasi shelter komunitas penyintas erupsi merapi. Jadi kondisi sebagian peserta yang basah kuyup oleh hujan pun tidak menjadi halangan berarti. Seolah mahfum bahwa keadaan saat itu masih jauh lebih baik dibanding ketika dalam keadaan bencana yang sebenarnya. Toh sebagian peserta walaupun sedikit mengigil nampaknya bahkan menikmati kondisi itu, seperti halnya saya.