
Sebuah bangunan dengan arsitektur dan lansekap yang unik tampak familiar menyempil diantara belantara gedung2 bertingkat di sudut kota Ho Chi Minh, tepatnya di distrik 1 Dong Khoi yang sibuk dan padat. Warna biru kombinasi putih mendominasi penampakan bangunan ini. Cukup rapih dan terawat walau warna birunya sudah mulai agak kusam. Tampak empat menara atau minaret menjulang di keempat sudut bangunan utama.Tidak ada kubah besar namun di setiap pucuk minaret terdapat semacam kubah2 kecil berwarna keemasan. Pintu-pintu atau gerbang masuk kedalam gedung yang berderet sebanyak tujuh buah dengan lengkungan khas timur tengah menegaskan bahwa ini bukanlah gedung yang biasa akan kita temukan di Vietnam. Pekarangannya cukup luas, bersih, cukup terawat dan pastinya teduh dengan pohon sarat dahan berdaun banyak. Tidak salah lagi, itu adalah Saigon Central Mosque atau Blue Mosque atauJamiah Al Muslimun, salah satu mesjid terbesar yang ada di Vietnam. Saya sejenak cukup takjub dengan pemandangan yang ada. Bukannya apa2, mungkin karena tidak mengira akan menemukan sebuah masjid yang cukup terawat di tengah negara komunis. Walaupun dari segi skala dan keindahan masjid ini tidak terlalu fenomenal tapi cukup memberikan kedamaian dan kesejukan, ya layaknya sebuah masjid. Seolah seperti menemukan oase di tengah kota Ho Chi Minh yang siang itu cukup panas, hiruk pikuk dan ramai.
Persis di depan masjid, sebelum memasuki pekarangannya, sebuah gerbang menyambut para tetamu atau jamah yg datang. Biasanya ada petugas atau amil masjid yang menjaga, kadang seperti ingin memastikan apakah yang datang muslim atau bukan. Padahal sebenarnya bukan melarang non muslim masuk, sebagai salah satu obyek wisata tentunya mesjid ini cukup terbuka, namun karena untuk menghormati keberadaan mesjid sebagai tempat ibadah, maka bagi non muslim tentunya diharuskan mengikuti beberapa aturan umum yang berlaku seperti misalnya soal adab berpakaian yang sopan, menutup aurat dan melepaskan alas kaki bila memasuki pelataran masjid yang berlantai marmer nan dingin itu.
Bangunan mesjid ini didirikan pada tahun 1935 oleh para pedagang dari India yang telah bermukim di kota itu. Tahun dimana Vietnam belum merdeka dari kolonialisme Perancis, begitupun India yang masih belum lepas dari kolonialisme Inggris. Sehingga nampaknya wajar, Saigon ketika itu, sebagai kota pelabuhan dan perdagangan terbesar di sisi selatan Vietnam, sangat menarik sehingga mengundang para saudagar dari mancanegara, yang berbeda etnis dan agama ini, untuk datang bahkan hingga bermukim di kota itu. Beberapa keturunan India muslim saat ini masih merupakan bagian dari komponen komunitas muslim di Vietnam selain juga keturunan Melayu. Walaupun demikian, etnis lokal Cham masih menjadi jemaah muslim mayoritas di Vietnam.
Di Ho Chi Minh City, jumlah umat muslim sangat sedikit, hanya ada kira-kira kurang dari 10.000 umat Muslim bila dibandingkan dengan hampir 9 juta jumlah penduduk Ho Chi Minh City. Padahal kalau mengingat sejarahnya, etnis Cham ini dulu pernah mendominasi dan memiliki sebuah kerajaan yang menguasai seluruh Vietnam bagian selatan. Agama Islam juga sempat menjadi agama kerajaan saat kerajaan Champa berjaya sebelum akhirnya kerajaan ini lambat laun musnah. Champa, sebuah kerajaan besar pada eranya yang tidak asing buat kita bangsa Indonesia karena ikut mewarnai sejarah nusantara. Saat ini etnis Cham pun menjadi etnis minoritas dibanding etnis Viet yang menjadi mayoritas penduduk di Vietnam.
Dengan tampang Melayu yang kental tentunya tidak menjadi kendala bagi saya dan teman saya, Dudung, untuk memasuki pekarangan masjid. Saat itu kami berkunjung memang benar-benar ingin menunaikan ibadah sholat dzuhur yang nyaris memasuki injury time sekalian mengaso sejenak setelah dari pagi sampai siang ini berjalan-jalan di kota. Di saat bersamaan ada sepasang turis yang tidak diperkenankan masuk, mungkin karena yang lelaki memakai celana pendek sementara pasangannya memakai tank top. Kumaha atuh, rek ka masjid atawa dugem?! Walaupun tidak bisa saya salahkan juga sepenuhnya mengingat penampilan yang bersangkutan sebenarnya wajar lah sebagai tipikal turis barat, apalagi memang kondisi siang itu memang agak gerah. Hanya saja saya sayangkan mereka tidak membaca informasi tentang ketentuan mengunjungi mesjid ini dipanduan2 wisata yang ada sebelumnya. Di googling atuh mister! Apa mungkin mereka ga sengaja lewat? Ah bisa jadi juga begitu… mengingat bahwa tak jauh dari mesjid ini ada beberapa rantai hotel terkenal… bahkan keberadaan mesjid ini seperti dijepit gedung hotel tinggi yg menjulang di latar belakangnya... ya sudahlah… lanjut ke mesjid lagi, naha jadi ngabahas bule nyak ;)
Setelah melewati pekarangan dengan taman yang asri, sebuah tangga lebar dengan anak tangga yang cukup banyak sudah menanti untuk mengantar kami memasuki masjid. Setelah menaiki tangga, tepat di sayap kanan terlihat sebuah kolam dengan dikelilingi pancuran air yang nampaknya adalah tempat untuk membersihkan diri atau bersuci mengambil wudhu. Seperti biasa, alas kaki sudah harus dilepaskan disini.
Sambil memasuki masjid, saya melihat sekeliling. Tidak banyak pengunjung yang datang, mungkin memang karena belum masuk waktu sholat berikutnya. Ada kurang lebih 4 orang lokal yang sepertinya beretnis Cham, 3 laki-laki dan 1 perempuan, yang sudah berumur tersebar di dalam dan di sekitar pelataran masjid. Salah satunya dengan baju gamis putih panjang, nampaknya pengurus mesjid, sedang bersender sepertinya sambil berzikir disalah satu pilar. Yang lain hanya duduk-duduk saja sementara yang perempuan, nenek-nenek, berdiri persis di tengah pintu utama melantunkan surat2 pendek, juz amma, dengan logat yang agak asing. Setelah selesai solat, baru saya tahu bahwa beberapa dari mereka sepertinya mengharapkan sedekah dari jemaah yang datang. Mudah2an prasangka saya salah, mungkin mereka cuman senang bertemu sama saudara Melayu muslim dari negeri seberang. Wah untung masih ada beberapa lembar Dong sisa kembalian belanja, kalau tidak, ga enak juga dipeluk2 terus sama si kakek. Ampun ya Allah kalo saya salah berprasangka, semoga dimaafkan. Amin.
Yang juga menarik dari masjid ini, selain ciri khas dan warna birunya, adalah adanya gedung madrasah atau sekolah agama persis di halaman belakang mesjid. Nampaknya komplek masjid ini dari awal memang benar-benar dirancang sebagai enclave komunitas muslim di Ho Chi Minh. Namun sayang, berbeda dengan mesjidnya, bangunan ini nampak kurang terawat. Bangunan ini berlantai tiga, ada tulisan Madrasah Noorul Imaan Islamic School di lantai kedua dengan lambang bintang yang khas diatasnya. Dindingnya kumal, catnya kusam, kusen & jendela kayunya sdh menua. Walaupun sepertinya juga mungkin masih difungsikan karena sesaat ketika kami akan pulang, ada sejumlah kecil anak, dimana yang perempuan menggunakan jilbab, sedang menuju bangunan madrasah ini. Sempat kami singgahi juga sekilas masuk ke dalamnya sehingga bisa tahu suasananya. Gedung madrasah ini cukup gelap, lembab, kurang ventilasi dan agak berbau kurang segar sehingga saya khawatir apa memang masih dipergunakan dengan baik? Bisa jadi anak2 tadi adalah sanak keluarga dari pengurus mesjid yang tinggal disitu.
Sebagai salah satu mesjid terbesar dari 16 mesjid yang ada di Ho ChiMinh City dan bahkan berlokasi di distrik 1 yang merupakan pusat keramaian dan tempat-tempat wisata. Sudah selayaknya memang tempat inidirawat dengan baik. Namun demikian fasilitas penunjang komunitas, seperti lembaga pendidikan agama nampaknya belum didukung secara optimal. Mungkin sebagai minoritas, banyak kendala yang dihadapi sehingga sudah cukup bersyukur dengan adanya kebebasan beragama yang diberikan pemerintah komunis Vietnam. Padahal tidak diperhatikannya sekolah agama yang baik, membuat persebaran ajaran teologi Islam yang baik dan benar kepada komunitas muslim Vietnam yang relatif terisolasi dari dunia Islam menjadi terhambat. Tidak heran, kebiasaan & kepercayaan lokal akan mempengaruhi praktek keagaaman. Konon katanya, ada sebagian dari komunitas muslim di Vietnam hanya berdoa atau sholat pada hari Jumat saja dan merayakan Ramadhan cukup tiga hari?! Bahkan sunat pun tidak dilakukan secara fisik melainkan secara simbolis. Wallahualam bissawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar